Kamis, 10 Mei 2012

Puisi (4)


Ekstase Gerak Tarian
Pada sebuah gerak tarianmu
Aku menemukan gairah hidup
Yang dulu pernah terserak dalam reruntuhan luka
Menemukan rindu yang mesti diusung melintasi lembah dan jurang
Yang siap menikam hingga berdarah
          Gerak tarianmu menjelma oksigen
          Yang siap melumasi kerongkongan dan paru-paru yang sakit
Digerogoti serbuk baja-karbonmonoksida kota
Mengingatkanku pada kesunyian tiang-tiang listrik
Dan hutan beton yang mengeluh pada suara hujan
Mari kita bikin gerak tarian itu
Menjadi atmosfer yang menyapa kesakitan ozon di angkasa
Kita teraskan dzikir buat peradaban yang ngilu
Sebab kata-kata yang telah dibakar jilatan api
Menjelma hubungan asap
Maka biarkan juga dirimu menarikan hidup yang paling pedih


Laut Tak Pernah Marah
Laut tak pernah marah
Meski tak henti menamparkan ombaknya
Pada gugusan karang dan pasir pantai
Yang lenggang tanpa dirimu
          Laut tak pernah marah
          Meski muara sungai tak henti
          Mengirimkan bongkahan kotoran
          Atau perasaan yang menjijikkan
“ Ia setia pada kodratnya !”
Tapi bila esok kau lihat sosok tubuh
Tak berdaya di tepi pantai, pahami
Laut membunuhnya dengan kasih saying


Negeri Laut
Di sekitar deret penjual Koran
Cuaca seperti buku-buku porno
Di dekat restoran bermenu sampah
Segerombol remaja mengecat oranye di kepalanya
Seperti huruf-huruf seragam pada reklame
Mereka merasa di seberang benua
          Di sebuah sudut, di kedai kopi
          Matamu tersihir juga, serentak bergumam
          Atau mungkin sejenis dzikir
          Dunia seperti dongeng, kambing-kambing
          Belanja dan merumput di televise
Ada juga kalimat sakti di spanduk
Isyarat riwayat gawat, dulu
Memang ada sebundel waktu ketika karang
Bertemu tangan menjelma gairah
Dan laut menjadi meriah
Kapal-kapal singgah
Butiran penuh dengan rempah-rempah
Penduduk sibuk berjabat tangan
Membagi senyum dalam syukur dan ibadah
          Kini jendela-jendela itu berdebu
          Tangan berhias golok, senjata dimana-mana
          Dan kita, juga gerombolan remaja itu, buta
Di hadapan mereka yang meluncurkan
Kalimat lurus berbaris bagai serdadu
Di sekitar deret penjual Koran, kota kehilangan akar
Lidah, laut dan perahu. Dan di sudut muram
Kopi berbau amis. Koran-koran menggambar
Peta robek, wirid cabul
Dan cinta tergeletak di lantai bursa


Kau, Laut dan Kata
Di geladak sudah tercium kata-kata
Anyir seperti bangkai, diantara bayang-bayang
Kau sebut hidup adalah perjudian dan entah siapa
Entah di mana seseorang mengangguk
Untuk yang terbaca
          Kau mengarungi lautan, dengan riang
          Menjemput yang akan datang
          Kau kutuk masa silam
          Sambil merapikan rambut dan kenangan
          Kapal melaju, sunyi merambat jauh
          Ke palung-palung di batinmu
Di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita
Kemana kau berlayar, ia akan mengantar
Setia bersama waktu yang tak lebih berkibar
Di angkasa burung-burung terbakar
Dibidik terik dan gerimis. Di lengkung langit
Cakrawala menuju waktu, mengepungmu
Sampai senja berakhir, sampai luka tak lagi ngalir
          Tetapi apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu
          Berkesiur di tangah bakau dan buih ombak
          Hingga memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
          Menantimu ketika telah lenyap segala kata
Dan aku, tahukah kamu?
Aku gurita itu
Senja dan waktu yang kau sebut sebagai kepulangan


Rumah-rumah Berpagar Tinggi
Rumah-rumah berpagar tinggi
Siapakah penghuni kalian
Buntut nyeri atau kepala api
Gemeretak melahap ranting-ranting
Penghalang mata kami, siapakah?
          Barangkali tembok-tembok kekar itu
          Isyarat kekecewaan, menggumpal
          Di sepanjang selokan
          Atau batu-batu dalam pikiran mereka
          Yang menulis riwayat kami. Apakah?
Dari tengadah jendela dan runduk genting
Diantara rimbun ranting penghalang mata
Seperti ada yang menggoda
Buntut nyeri dan kepala api
Siap mengobarkan sunyi


Mimpi Itu
Masih kuingat mimpimu itu? Mimpi kita juga bukan ?
Dulu dalam percakapan yang dimainkan angin
Senantiasa kita yakinkan
Di belakang rumah kelak terhampar ladang dan sawah
          Sebelum melipat selimut, sebelum menghirup kopi
          Kelak pada suatu pagi yang dikeramatkan
          Kita akan sama-sama menyingkap gorden jendela
          Lalu tak terasa mata kita sudah sehijau daun melinjo
Tetapi kini lupakanlah, lipat rapi dalam batin yang pedih
Sebab langit telah menggisik-gisikkan matanya
Berdarah karena duka pertikaian di bumi
Mari mengubah arah
Impian nyatanya lebih tajam dari tepi-tepi ilalang
Dan kita telah sama-sama tersayat
          Lupakanlah, biar semua menguap ke langit
           Bersama sisa tangis dan doa-doa tersendat
          Dan bila kutuliskan kenangan ini, yakinkan hatimu
          Memang telah sempurna dan lengkap luka kita
          Dan kelak orang tak perlu lagi bertanya kenapa


Tidak ada komentar:

Posting Komentar