SAGUER
D
|
ahulu kala, hiduplah satu
keluarga yang miskin di antah-berantah. Walaupun mereka sangat berkekurangan,
mereka kayak arena memiliki tiga orang anak dan semuanya wanita. Yang sulung
bernama Tenden, serta yang bungsu Keke Waidan. Orang tua mereka saling
menyayangi, betapapun sulitnya kehidupan mereka.
Malang
menimpa kehidupan keluarga ini begitu melahirkan Keke Waidan, ibunya pun
meninggal. Kejadian ini rupanya masih disusul dengan kematian ayah mereka.
Mereka pun jadi yatim piatu. Sejak itu,
tanggung jawab kelangsungan hidup mereka terbeban kepada anak yang sulung,
yaitu Tenden Wulan. Apakah yang akan dibuatnya, terutama dengan adiknya yang
masih bayi itu?
Pada
suatu hari, teringatlah Tenden Wulan akan pisau yang ditinggalkan ayahnya.
Pisau itu diambilnya. Kemudian, Raun Tenden dan Keke Widan diajaknya untuk
berjalan ke hutan mencari makanan. Keke Waidan digendong oleh Raun Tenden,
sedangkan Tenden Wulan memegang pisau dan berjalan di depan.
Setelah
berjalan, mereka pun berteduh di bawah sebuah pohon seho (enau). Akan tetapi,
Tenden Wulan bingung karena tak tahu apa yang harus diminum oleh adiknya untuk
menggantikan air susu. Lama-kelamaan, tangis adiknya kian mengeras.
Karena
kebingungan si Tenden pun berlari dan menengadah ke atas. Tiba-tiba ia berpikir
untuk berjalan lagi, tapi setetes air menimpa kepalanya. Begitu dilihatnya,
ternyata bukanlah air yang bening, melainkan air putih berbusa (nira).
Nira itu
pun diciuminya dan dicicipinya tanpa memikirkan berbahaya atau tidak. Rasanya
manis dan enak. Semakin lama tetesan itu pun semakin banyak saja. Teanden Wulan
pun menengadahkan tangan dan langsung diberikan kepada adiknya, Keke Waidan.
Nira itu
diminum Keke Waidan dengan bersemangat hingga hamper saja ia tersedak. Akan
tetapi, dia belum juga puas dan kenyang karena mengumpulkan nira itu dengan
tangan. Lalu, Tenden Wulan berjalan mencari tempat untuk menampung nira itu.
Dari kejauhan dilihatnya serumpun bambu yang sedang berayun-ayun ditiup angin
dan mengeluarkan suara seakan-akan memanggilnya.
Tenden
Wulan segera berlari menuju rumpun bambu itu. Setiba di tempat itu, Tenden pun
memotong bambu beberapa ruas untuk dipakai menampung nira pohon enau itu.
Walaupun
Tenden Wulan itu masih kecil, dia sudah dapat menolong adiknya. Tenden Wulan
pun berkata dan berseru “Opo Empung,” seraya bersyukur karena telah memelihara
mereka.
Bersama
dengan kelegaan hatinya, Tenden Wulan menengadah lagi ke atas pohon tempat
keluarnya air berbusa tadi. “ eh, binatang apa di atas sana,” katanya.
Begitu
diperhatikan, ternyata tikus sedang menikmati nira manis itu. Nira itu ternyata
digemari pula oleh tikus.
Tenden
Wulan pun berpikir bagaimana agar nira itu tetap manis. Dia juga bingung
bagaimana pohon seho ini bisa mengeluarkan air yang manis. Oleh karena itu, ia
berniat memberitahu kejadian ini kepada orang-orang tua di kampong. Siapa tahu,
apa yang dialami bisa digunakan bagi kepentingan orang banyak.
Sambil
berpikir, diisinya bambu itu satu persatu. Setelah keduanya penuh, mereka pun
pulang.
Setelah
kejadian itu, setiap hari Tenden Wulan dan Raun Tenden mengambil seding itu
untuk adiknya. Dia pun berpikir, bagaimana pohon enau itu bisa diambil niranya.
Dia kemudian member tahu kepada orang kampung tentang pohon enau itu.
Lewat
mimpi yang disampaikan leluhurnya, dia tahu bahwa pohon enau itu sudah berbuah
dengan warna hijau, kulitnya yang melekat dilepas. Sepotong bamboo diambil dan
dipukul-pukulkan mayangnya. Setelah seminggu lamanya, sudah bisa menetes,
disebut saguer. Akhirnya, kampung itu menjadi maju karena pohon enau.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar