Kamis, 10 Mei 2012

Puisi (4)


Ekstase Gerak Tarian
Pada sebuah gerak tarianmu
Aku menemukan gairah hidup
Yang dulu pernah terserak dalam reruntuhan luka
Menemukan rindu yang mesti diusung melintasi lembah dan jurang
Yang siap menikam hingga berdarah
          Gerak tarianmu menjelma oksigen
          Yang siap melumasi kerongkongan dan paru-paru yang sakit
Digerogoti serbuk baja-karbonmonoksida kota
Mengingatkanku pada kesunyian tiang-tiang listrik
Dan hutan beton yang mengeluh pada suara hujan
Mari kita bikin gerak tarian itu
Menjadi atmosfer yang menyapa kesakitan ozon di angkasa
Kita teraskan dzikir buat peradaban yang ngilu
Sebab kata-kata yang telah dibakar jilatan api
Menjelma hubungan asap
Maka biarkan juga dirimu menarikan hidup yang paling pedih


Laut Tak Pernah Marah
Laut tak pernah marah
Meski tak henti menamparkan ombaknya
Pada gugusan karang dan pasir pantai
Yang lenggang tanpa dirimu
          Laut tak pernah marah
          Meski muara sungai tak henti
          Mengirimkan bongkahan kotoran
          Atau perasaan yang menjijikkan
“ Ia setia pada kodratnya !”
Tapi bila esok kau lihat sosok tubuh
Tak berdaya di tepi pantai, pahami
Laut membunuhnya dengan kasih saying


Negeri Laut
Di sekitar deret penjual Koran
Cuaca seperti buku-buku porno
Di dekat restoran bermenu sampah
Segerombol remaja mengecat oranye di kepalanya
Seperti huruf-huruf seragam pada reklame
Mereka merasa di seberang benua
          Di sebuah sudut, di kedai kopi
          Matamu tersihir juga, serentak bergumam
          Atau mungkin sejenis dzikir
          Dunia seperti dongeng, kambing-kambing
          Belanja dan merumput di televise
Ada juga kalimat sakti di spanduk
Isyarat riwayat gawat, dulu
Memang ada sebundel waktu ketika karang
Bertemu tangan menjelma gairah
Dan laut menjadi meriah
Kapal-kapal singgah
Butiran penuh dengan rempah-rempah
Penduduk sibuk berjabat tangan
Membagi senyum dalam syukur dan ibadah
          Kini jendela-jendela itu berdebu
          Tangan berhias golok, senjata dimana-mana
          Dan kita, juga gerombolan remaja itu, buta
Di hadapan mereka yang meluncurkan
Kalimat lurus berbaris bagai serdadu
Di sekitar deret penjual Koran, kota kehilangan akar
Lidah, laut dan perahu. Dan di sudut muram
Kopi berbau amis. Koran-koran menggambar
Peta robek, wirid cabul
Dan cinta tergeletak di lantai bursa


Kau, Laut dan Kata
Di geladak sudah tercium kata-kata
Anyir seperti bangkai, diantara bayang-bayang
Kau sebut hidup adalah perjudian dan entah siapa
Entah di mana seseorang mengangguk
Untuk yang terbaca
          Kau mengarungi lautan, dengan riang
          Menjemput yang akan datang
          Kau kutuk masa silam
          Sambil merapikan rambut dan kenangan
          Kapal melaju, sunyi merambat jauh
          Ke palung-palung di batinmu
Di dasar laut takdir bisa saja semacam gurita
Kemana kau berlayar, ia akan mengantar
Setia bersama waktu yang tak lebih berkibar
Di angkasa burung-burung terbakar
Dibidik terik dan gerimis. Di lengkung langit
Cakrawala menuju waktu, mengepungmu
Sampai senja berakhir, sampai luka tak lagi ngalir
          Tetapi apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu
          Berkesiur di tangah bakau dan buih ombak
          Hingga memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
          Menantimu ketika telah lenyap segala kata
Dan aku, tahukah kamu?
Aku gurita itu
Senja dan waktu yang kau sebut sebagai kepulangan


Rumah-rumah Berpagar Tinggi
Rumah-rumah berpagar tinggi
Siapakah penghuni kalian
Buntut nyeri atau kepala api
Gemeretak melahap ranting-ranting
Penghalang mata kami, siapakah?
          Barangkali tembok-tembok kekar itu
          Isyarat kekecewaan, menggumpal
          Di sepanjang selokan
          Atau batu-batu dalam pikiran mereka
          Yang menulis riwayat kami. Apakah?
Dari tengadah jendela dan runduk genting
Diantara rimbun ranting penghalang mata
Seperti ada yang menggoda
Buntut nyeri dan kepala api
Siap mengobarkan sunyi


Mimpi Itu
Masih kuingat mimpimu itu? Mimpi kita juga bukan ?
Dulu dalam percakapan yang dimainkan angin
Senantiasa kita yakinkan
Di belakang rumah kelak terhampar ladang dan sawah
          Sebelum melipat selimut, sebelum menghirup kopi
          Kelak pada suatu pagi yang dikeramatkan
          Kita akan sama-sama menyingkap gorden jendela
          Lalu tak terasa mata kita sudah sehijau daun melinjo
Tetapi kini lupakanlah, lipat rapi dalam batin yang pedih
Sebab langit telah menggisik-gisikkan matanya
Berdarah karena duka pertikaian di bumi
Mari mengubah arah
Impian nyatanya lebih tajam dari tepi-tepi ilalang
Dan kita telah sama-sama tersayat
          Lupakanlah, biar semua menguap ke langit
           Bersama sisa tangis dan doa-doa tersendat
          Dan bila kutuliskan kenangan ini, yakinkan hatimu
          Memang telah sempurna dan lengkap luka kita
          Dan kelak orang tak perlu lagi bertanya kenapa


Puisi Chairil Anwar


Doa Kepada Pemilik Teguh
Karya : Chairil Anwar
Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut nama-Mu
          Biar susah sungguh
          Mengingat kau penuh seluruh
Caya-Mu panas suci
Tinggal kerdip lilin di kelam sunyi
          Tuhanku
          Aku hilang bentuk
          Remuk
Tuhanku
Aku mengembara di Negeri asing
Tuhanku
Dipintu-Mu aku mengetuk
Aku tak bisa berpaling


Sebuah Kamar
Karya : Chairil Anwar
Sebuah jendela menyerahkan kamar ini pada dunia
Bulan yang menyinar ke dalam
Mau lebih banyak bernyawa di sini
Sudah lima anak bernyawa di sini
Aku salah satu!
          Ibuku tertidur dalam sendu
          Keramaian penjara sepi selalu
          Bapakmu sendiri terbaring jemu
          Matanya menatap orang terselip di batu
Sekeliling dunia bunuh diri!
Aku minta adik lagi
Pada ibu dan bapakku, karena mereka berada di luar hitungan
Kamar begini,
3 x 4 m, terlalu sempit buat meniup nyawa!

Puisi (3)


Ramadhan
Karya : Nelly Nasihah
Makan malam mengasyikkan
Biar nasi tanpa ikan
Asal dapat rahmat Tuhan
Sudah cukup dapat jaminan
          Pukul bedug bertalu-talu
          Terpekik indah suara azan
          Ucap doa dosa nan lalu
          Mohon Tuhan sudi maafkan
Jilbab putih berkibar kini
Qur’an suci dipapah lagi
Tersungkur sujud hadap ilahi
Ucap taubat sesal di hati
          Semayup kini jerit tadarus
          Bak dendang lagu nan halus
          Tahan lapar tak kenal haus
          Harap tempat negeri Firdaus


Festival Kehidupan
Karya : Aniroh
Apa yang harus kuratapi
Ketika lahir, hidup, dan matiku ada di seutas tali takdir
Dan tersimpan dalam peti rahasia
          Apa yang musti kutangisi
          Saat badai duka datang menerjang dan merampas segalanya!
          Tapi tersisa satu jiwa dan setitik asa
Siapa yang akan kucaci maki
Saat luapan amarahku membara berpacu dengan waktu
Tapi aku tak punya kambing hitam
          Aku manusia…punya rasa dan asa
          Punya derita dan bahagia
          Punya nafsu dan logika
          Karena aku tercipta untuk itu
Tak ada yang perlu kuratapi, kutangisi, apalagi kucaci maki
Terima kasih Tuhan…
Engkau sutradara Maha Hebat
Syukurku akan kutebarkan penuh pesona
Dalam festival kehidupan yang penuh warna
Dengan luka dan cacat ditubuh yang memperindah lukisan hidupku
          Kusambut sejuta tawa dan derai bahagia

Rabu, 09 Mei 2012

PUISI (2)


Puisi Negeriku
Karya : Dhiprasty
Wajah negeriku tak lagi ramah
Carut-marut penuh luka
Bekas tsunami, banjir, dan longsor
          Wajah negeriku tak lagi sumringah
          Duka berbalut derita
          Anak, wanita, dan bayi terlantar
Negeri ini tak sanggup
Menahan luka
Yang semakin menganga
          Negeri ini tak mampu
          Meraup derita
          Yang semakin melanda


Balada Air Garam
Karya : Frederico Garcia Lorca
Sang laut
Senyum di jauhan
Gigi berbusa
Bibir cakrawala
          Apa yang kau jajakan anak merana
          Anak yang telanjang dada?
Tuan, saya berjualan
Air garam samudera
Apa yang kau bawa, anak kelam,
Berbaur dengan darahmu?
          Tuan, saya membawa
          Air garam samudera
          Ini asin air mata
          Datang dari mana, ibu
Tuan, saya juga menangis
Air garam samudera
Jiwa yang pahit dalam ini
Dari mana munculnya?
          Sungguh pahit,
          Air garam samudera!
Sang laut
Senyum di jauhan
Gigi berbusa
Bibir cakrawala

Puisi (1)


Nenek Pejuang
Karya : Sides Sudiyarto Ds.
Seorang nenek miskin berjalan merangkak
Tertatih-tatih langkahnya jatuh bangun
Lalu kembali merangkak dengan pakaian cabik-cabik
Menuju jalan raya yang sepi senyap
          Nenek yang tua itu kembali ke gubuknya
          Ia istirahat meredakan napasnya yang kacau balau
          Kemudian terdengar letupan senjata
          Sebutir peluru mencabut nyawa nenek itu


Ibu
Karya : Alvian Rulyanto
Kasihmu bagai sinar mentari!
Menghangatkan jiwa
Menerangi hati
Member ketenangan pikiran
          Ibu
          Kasihmu abadi
          Bagai waktu
          Yang tak berakhir
Kau tempat mencari
Mencari dan mencari
Mencari kasih sejati
Mencari curahan hati

Kamis, 03 Mei 2012

Dongeng (1) : Lobak Raksasa


Lobak Raksasa
P
ada suatu masa hiduplah seorang petani miskin yang bekerja keras setiap hari. Ia menggali dan mencangkul serta menanami sedikit tanahnya, tetapi ia tetap hidup miskin. Peteni itu mempunyai kakak laki-laki yang jauh lebih kaya. Ia seorang pedagang kain sutera yang sangat pelit dan lebih mementingkan diri sendiri.
Pada suatu hari, di kebun petani itu sebuah lobak tumbuh semakin besar dan sepertinya tidak akan pernah berhenti tumbuh. Lobak itu tumbuh sebesar gerobak. Tidak pernah ada lobak seperti itu sebelumnya. Petani itu tidak tahu apa yang harus ia lakukan dengan lobak sebesar itu. Ia tidak berani memotongnya dan memakannya sendiri. Lalu ia memutuskan membawanya kepada Raja dan memberikannya sebagai persembahan. Sang Raja tersentuh atas kebaikan sang petani dan memberinya hadiah berupa satu peti penuh dengan batu-batuan berharga.
Kakak sang petani, bukannya merasa senang terhadap adiknya, malahan merasa iri. Ia ingin menghadap Raja dan mengharapkan hadiah juga. “Jika saudara saya mendapat hadiah besar dengan hanya memberikan sebuah lobak, apa yang akan saya terima jika saya memberinya beberapa meter kain sutera mahal?” ia berkata pada diri sendiri.
Oleh karena itu, dia mengirimkan dua gulung kain sutera mahal ke istana Raja dan menunggu hadiah yang akan diberikan kepadanya. Kalian dapat membayangkan betapa terkejutnya kakak petani itu ketika menyaksikan sebuah gerobak besar yang aneh ditarik oleh salah satu penjaga istana ketika tiba di gerbang rumahnya. Raja telah mengirimkan sebuah lobak raksasa sebagai hadiah.
“ Teriring salam hormat Raja” ujar penjaga istana itu
Akhirnya pedagang yang pelit itu harus memakan sup lobak itu selama berbulan-bulan. Dan sejak hari itu, ia belajar untuk tidak mementingkan diri sendiri.


CERITA RAKYAT (4) : SI LANCANG


SI LANCANG
Pada zaman dahulu di daerah Kampar hiduplah si Lancang bersama ibunya. Mereka hidup sangat miskin. Untuk mencukupi kebutuhan hidupnya, Si Lancang berniat merantau.
Pada suatu hari, ia meminta izin kepada ibunya. Ibunya berpesan agar di rantau orang kelak, si Lancang selalu ingat kepada ibunya dan kampung halamannya. Ibunya berpesan agar si Lancang jangan menjadi anak yang durhaka.
Si Lancang pun berjanji kepada ibunya akan selalu ibu dan kampung halamannya. Ibunya menjadi terharu saat si Lancang mencium lututnya untuk meminta doa.
Di rantau si Lancang sangat beruntung. Ia menjadi saudagar yang kaya raya. Ia memiliki berpuluh-puluh buah kapal dagang. Dikabarkan pula, ia mempunyai tujuh orang istri. Mereka semua berasal dari keluarga saudagar kaya. Sementara itu, ibu si Lancang masih tinggal di Kampar dalam keadaan yang sangat miskin.
Pada suatu hari, si Lancang berlayar ke Andalas. Berita kedatangan si Lancang didengar oleh ibunya. Dengan persaan terharu, ia bergegas menyambut kedatangan anak satu-satunya tersebut.
Begitu menyatakan bahwa dirinya adalah ibu si Lancang, tidak ada seorang kelasi pun memercayainya. Dengan kasarnya, ia mengusir ibu tua tersebut. Akan tetapi, perempuan tua itu tidak mau beranjak. Ia bersikeras minta untuk dipertemukan dengan anaknya, si Lancang. Keadaan itu menimbulkan keributan.
Mendengar kegaduhan di atas geladak, si Lancang dengan diiringi ketujuh istrinya mendatangi tempat itu. “ Engkau Lancang…anakku!” oh… betapa rindunya hati emak padamu.”
Mendengar sapaan itu, dengan congkaknya si Lancang menepis. Anak durhaka ini pun berteriak, “ Mana mungkin aku mempunyai ibu perempuan miskin seperti kamu. Kelasi! Usir perempuan ini!.”
Ibu yang malang ini akhirnya pulang dengan perasaan hancur. Sesampainya di rumah, ia berkata “ Ya Tuhanku…hukumlah si anak durhaka itu!”
Dalam sekejap, turunlah hujan lebat dan badai topan. Badai tersebut menghancurkan kapal-kapal dagang milik si Lancang. Harta benda miliknya juga terbang ke mana-mana. kain suteranya melayang-layang dan jatuh menjadi negeri Lipat kain yang terletak di Kampar kiri. Gongnya terlempar ke Kampar kanan dan menjadi Sungai Oguong. Tembikarnya melayang menjadi Pasubilah, sedangkan tiang bendera kapal si Lancang terlempar hingga sampai di sebuah danau yang diberi nama danau Si Lancang.

CERITA RAKYAT (3) : BATU BADAON


BATU BADAON
Bajak laut sering datang ke Pulau Rote. Ia merampas harta rakyat. Rakyat hidupnya tak tenteram. Mereka menyingkir ke gunung-gunung.
Tampillah seoang muda bernama Bais. Ia meninggalkan istrinya. Lalu, dengan mengendarai kuda ia pergi mencari moyangnya. Baidaleloe, moyangnya Bais, tinggal di Gunung Lamola. Ia kebal pada senjata.
Dari moyangnya itu, Bais mendapatkan kekebalan. Ketika hendak pulang, Bais dibekali seruas tabung bamboo berisi obat kebal. Dengan bantuan beberapa orang teman, Bais berhasil menumpas bajak laut.
Enam tahun kemudian, Pulau Rote diserang pasukan Helong. Pasukan Rote kalah karena kurang latihan. Raja Rote ditawan.
Pasukan Bais berhasil mengalahkan pasukan Helong. Bais diambil menantu oleh Raja Rote. Ia dikawinkan dengan Beis. Pada suatu hari, Bunameni, istri Bais, datang ke istana tapi ditolak.
Suatu ketika, bapak dan ibu Bais pun datang ke istana, tetapi juga ditolak. Bais mengatakan bahwa bapak dan ibunya telah meninggal.
Orang tua Bais pergi ke sebuah bukit. Di sana mereka menangis. Air mata mereka berubah menjadi banjir besar. Istana Bais pun terlanda banjir. Bais dan Beis berubah menjadi buaya.
Bunameni meminta kepada Dewata agar suaminya bisa kembali menjadi manusia. Permintaan ini tidak dikabulkan. Dewata menyuruh Bunameni pulang karena anak-anaknya telah rindu.
Di rumah Bunameni telah tersedia beras sebakul. Jika ditanak sebutir saja, butir beras akan menjadi nasi yang cukup dimakan sekeluarga. Bunameni hidup dengan dua orang anaknya, yaitu Matia dan Lilo. Keajaiban beras itu tak pernah diceritakan kepada anaknya.
Pada suatu hari, Bunameni di ajak tetangganya mencari ikan ke laut. Ia nerpesan kepada Matia agar menanak sebutir beras saja. Pesan itu tidak diindahkan Matia. Ia mengambil seliter beras lalu ditanaknya . ketika air beras mendidih, tumpahlah airnya. Akhirnya, periuk berubah menjadi sebuah mata air, menjadi anak sungai hingga ke tepi laut.
Bunameni sangat marah. Ia berkata kepada anaknya, “ Matia Ibu mau pergi untuk selama-lamanya. Lebih baik ibu tinggl dalam perut batu Badaon daripada tinggal bersama anak yang tak mau mendengarkan nasihat orang tua.”
Bunameni pergi mendaptkan sebuah batu besar di lereng bukit. Konon batu itu datang sendiri dari Hindia belakang karena penduduk di sana tidak mau lagi memujanya. Disebut “ Batu Badaon” karena tertutup oleh banyak daun. Pada batu ini ada pintu yang bisa membuka dan menutup sendiri. Untuk membuka pintu itu, orang harus menyanyi. Bunameni menyanyi. Pintu batu terbuka. Bunameni lalu masuk. Tiba-tiba Matia menyusul dengan menggendong adiknya. “ Ibu, jangan masuk!” seru Matia. “Matia sudah bertaubat, Bu!”
Mendengar suara Matia itu, batu pun cepat-cepat menutup mulutnya. Hingga rambut Bunameni tertinggal di luar. Matia meletakkan adiknya di tanah. Ia lalu bernyanyi, namun ibunya tidak mau keluar. Matia pun meninggalkan batu seraya berkata, “ Adikku, ibu telah membenci kita karena kita telah mengabaikan pesannya.”

CERITA RAKYAT (2) : TING GEGENTING


TING GEGENTING
Dahulu ada seorang anak yatim tinggal dengan ibunya. Mereka hidup sebagai petani. Mereka tinggal di suatu dusun di tepi hutan yang sunyi dan sepi.
Pada suatu hari, sang anak kelaparan. Ia berkata pada ibunya, “ Ting gegenting, perutku sudah genting kelaparan mau makan.”
“ Ibunya menjawab, “tunggulah anakku, sebentar, ibu mau menebas ladang dulu.”
Setelah ibunya selesai menebas ladang, si anak bangun dari tidurnya dan merengek kembali, “ Ting gegenting, perutku sudah genting kelaparan, mau makan!”
“Sekali lagi ibunya menjawab, “ Tunggu nak, ibu mau membakar ladang dulu.”
Karena lemah, sang anak tidur lagi. Setelah ibunya selesai membakar ranting-ranting dan daun-daunan di atas ladang, si anak pun terjaga karena lapar perutnya.
“ Ting gegenting, perutku sudah genting kelaparan, mau makan,” tangisnya.
Ibunya menjawab, “ Tunggu nak, ibu mau menanam padi dulu.”
Si anak pun tertidur lagi. Setelah ibunya selesai menanam padi, si anak pun terbangun lalu menangis minta makan.
Ibunya menjawab segera, “ Sabar nak, Ibu mau mencuci beras dulu.”
Setelah ibunya selesai mencuci beras, anaknya sudah terjaga sambil menangis, “ Ting gegenting, perutku sudah kelaparan mau makan!”
“Sabar nak, Ibu masih mau menanak nasi dulu ,” jawab ibunya.
Si anak yang sudah lemah badannya segera tertidur. Akan tetapi, tak lama ia bangun lagi. Ia terus merengek dan meringis… suaranya terengah-engah.
“ ting ge…genting…pe…rutku…suuu…dah genting, ke…laparan…mau maa…kaaannn.”
Akhirnya ibunya menjawab, “ sebentar lagi nak, Ibu mau menempatkan nasi di piring dulu.”
Akan tetapi, si ibu terkejut. Ketika si ibu melihat anaknya, anaknya sudah meninggal karena kelaparan. Sang ibu dengan hati sedih mendekati anaknya. Ia menangis sedih.

CERITA RAKYAT (1) : SAGUER


SAGUER
D
ahulu kala, hiduplah satu keluarga yang miskin di antah-berantah. Walaupun mereka sangat berkekurangan, mereka kayak arena memiliki tiga orang anak dan semuanya wanita. Yang sulung bernama Tenden, serta yang bungsu Keke Waidan. Orang tua mereka saling menyayangi, betapapun sulitnya kehidupan mereka.
Malang menimpa kehidupan keluarga ini begitu melahirkan Keke Waidan, ibunya pun meninggal. Kejadian ini rupanya masih disusul dengan kematian ayah mereka. Mereka pun  jadi yatim piatu. Sejak itu, tanggung jawab kelangsungan hidup mereka terbeban kepada anak yang sulung, yaitu Tenden Wulan. Apakah yang akan dibuatnya, terutama dengan adiknya yang masih bayi itu?
Pada suatu hari, teringatlah Tenden Wulan akan pisau yang ditinggalkan ayahnya. Pisau itu diambilnya. Kemudian, Raun Tenden dan Keke Widan diajaknya untuk berjalan ke hutan mencari makanan. Keke Waidan digendong oleh Raun Tenden, sedangkan Tenden Wulan memegang pisau dan berjalan di depan.
Setelah berjalan, mereka pun berteduh di bawah sebuah pohon seho (enau). Akan tetapi, Tenden Wulan bingung karena tak tahu apa yang harus diminum oleh adiknya untuk menggantikan air susu. Lama-kelamaan, tangis adiknya kian mengeras.
Karena kebingungan si Tenden pun berlari dan menengadah ke atas. Tiba-tiba ia berpikir untuk berjalan lagi, tapi setetes air menimpa kepalanya. Begitu dilihatnya, ternyata bukanlah air yang bening, melainkan air putih berbusa (nira).
Nira itu pun diciuminya dan dicicipinya tanpa memikirkan berbahaya atau tidak. Rasanya manis dan enak. Semakin lama tetesan itu pun semakin banyak saja. Teanden Wulan pun menengadahkan tangan dan langsung diberikan kepada adiknya, Keke Waidan.
Nira itu diminum Keke Waidan dengan bersemangat hingga hamper saja ia tersedak. Akan tetapi, dia belum juga puas dan kenyang karena mengumpulkan nira itu dengan tangan. Lalu, Tenden Wulan berjalan mencari tempat untuk menampung nira itu. Dari kejauhan dilihatnya serumpun bambu yang sedang berayun-ayun ditiup angin dan mengeluarkan suara seakan-akan memanggilnya.
Tenden Wulan segera berlari menuju rumpun bambu itu. Setiba di tempat itu, Tenden pun memotong bambu beberapa ruas untuk dipakai menampung nira pohon enau itu.
Walaupun Tenden Wulan itu masih kecil, dia sudah dapat menolong adiknya. Tenden Wulan pun berkata dan berseru “Opo Empung,” seraya bersyukur karena telah memelihara mereka.
Bersama dengan kelegaan hatinya, Tenden Wulan menengadah lagi ke atas pohon tempat keluarnya air berbusa tadi. “ eh, binatang apa di atas sana,” katanya.
Begitu diperhatikan, ternyata tikus sedang menikmati nira manis itu. Nira itu ternyata digemari pula oleh tikus.
Tenden Wulan pun berpikir bagaimana agar nira itu tetap manis. Dia juga bingung bagaimana pohon seho ini bisa mengeluarkan air yang manis. Oleh karena itu, ia berniat memberitahu kejadian ini kepada orang-orang tua di kampong. Siapa tahu, apa yang dialami bisa digunakan bagi kepentingan orang banyak.
Sambil berpikir, diisinya bambu itu satu persatu. Setelah keduanya penuh, mereka pun pulang.
Setelah kejadian itu, setiap hari Tenden Wulan dan Raun Tenden mengambil seding itu untuk adiknya. Dia pun berpikir, bagaimana pohon enau itu bisa diambil niranya. Dia kemudian member tahu kepada orang kampung tentang pohon enau itu.
Lewat mimpi yang disampaikan leluhurnya, dia tahu bahwa pohon enau itu sudah berbuah dengan warna hijau, kulitnya yang melekat dilepas. Sepotong bamboo diambil dan dipukul-pukulkan mayangnya. Setelah seminggu lamanya, sudah bisa menetes, disebut saguer. Akhirnya, kampung itu menjadi maju karena pohon enau.