Ekstase Gerak Tarian
Pada sebuah gerak tarianmu
Aku menemukan gairah hidup
Yang dulu pernah terserak dalam
reruntuhan luka
Menemukan rindu yang mesti
diusung melintasi lembah dan jurang
Yang siap menikam hingga
berdarah
Gerak tarianmu menjelma oksigen
Yang siap melumasi kerongkongan dan
paru-paru yang sakit
Digerogoti serbuk baja-karbonmonoksida kota
Mengingatkanku pada kesunyian tiang-tiang listrik
Dan hutan beton yang mengeluh pada suara hujan
Mari kita bikin gerak tarian itu
Menjadi atmosfer yang menyapa
kesakitan ozon di angkasa
Kita teraskan dzikir buat
peradaban yang ngilu
Sebab kata-kata yang telah
dibakar jilatan api
Menjelma hubungan asap
Maka biarkan juga dirimu
menarikan hidup yang paling pedih
Laut Tak Pernah Marah
Laut tak pernah marah
Meski tak henti menamparkan
ombaknya
Pada gugusan karang dan pasir
pantai
Yang lenggang tanpa dirimu
Laut
tak pernah marah
Meski
muara sungai tak henti
Mengirimkan
bongkahan kotoran
Atau
perasaan yang menjijikkan
“ Ia setia pada kodratnya !”
Tapi bila esok kau lihat sosok
tubuh
Tak berdaya di tepi pantai,
pahami
Laut membunuhnya dengan kasih
saying
Negeri Laut
Di sekitar deret penjual Koran
Cuaca seperti buku-buku porno
Di dekat restoran bermenu sampah
Segerombol remaja mengecat
oranye di kepalanya
Seperti huruf-huruf seragam pada
reklame
Mereka merasa di seberang benua
Di
sebuah sudut, di kedai kopi
Matamu
tersihir juga, serentak bergumam
Atau
mungkin sejenis dzikir
Dunia
seperti dongeng, kambing-kambing
Belanja
dan merumput di televise
Ada juga kalimat sakti di
spanduk
Isyarat riwayat gawat, dulu
Memang ada sebundel waktu ketika
karang
Bertemu tangan menjelma gairah
Dan laut menjadi meriah
Kapal-kapal singgah
Butiran penuh dengan
rempah-rempah
Penduduk sibuk berjabat tangan
Membagi senyum dalam syukur dan
ibadah
Kini
jendela-jendela itu berdebu
Tangan
berhias golok, senjata dimana-mana
Dan
kita, juga gerombolan remaja itu, buta
Di
hadapan mereka yang meluncurkan
Kalimat
lurus berbaris bagai serdadu
Di sekitar deret penjual Koran,
kota kehilangan akar
Lidah, laut dan perahu. Dan di
sudut muram
Kopi berbau amis. Koran-koran
menggambar
Peta robek, wirid cabul
Dan cinta tergeletak di lantai
bursa
Kau, Laut dan Kata
Di geladak sudah tercium
kata-kata
Anyir seperti bangkai, diantara bayang-bayang
Kau sebut hidup adalah perjudian
dan entah siapa
Entah di mana seseorang
mengangguk
Untuk yang terbaca
Kau
mengarungi lautan, dengan riang
Menjemput
yang akan datang
Kau
kutuk masa silam
Sambil
merapikan rambut dan kenangan
Kapal
melaju, sunyi merambat jauh
Ke
palung-palung di batinmu
Di dasar laut takdir bisa saja
semacam gurita
Kemana kau berlayar, ia akan
mengantar
Setia bersama waktu yang tak
lebih berkibar
Di angkasa burung-burung
terbakar
Dibidik terik dan gerimis. Di
lengkung langit
Cakrawala menuju waktu,
mengepungmu
Sampai senja berakhir, sampai
luka tak lagi ngalir
Tetapi
apakah artinya senja? Tak lain adalah waktu
Berkesiur
di tangah bakau dan buih ombak
Hingga
memutih sayapnya, hingga mengeras dagunya
Menantimu
ketika telah lenyap segala kata
Dan aku, tahukah kamu?
Aku gurita itu
Senja dan waktu yang kau sebut
sebagai kepulangan
Rumah-rumah Berpagar Tinggi
Rumah-rumah berpagar tinggi
Siapakah penghuni kalian
Buntut nyeri atau kepala api
Gemeretak melahap
ranting-ranting
Penghalang mata kami, siapakah?
Barangkali
tembok-tembok kekar itu
Isyarat
kekecewaan, menggumpal
Di
sepanjang selokan
Atau
batu-batu dalam pikiran mereka
Yang
menulis riwayat kami. Apakah?
Dari tengadah jendela dan runduk
genting
Diantara rimbun ranting
penghalang mata
Seperti ada yang menggoda
Buntut nyeri dan kepala api
Siap mengobarkan sunyi
Mimpi Itu
Masih kuingat mimpimu itu? Mimpi
kita juga bukan ?
Dulu dalam percakapan yang
dimainkan angin
Senantiasa kita yakinkan
Di belakang rumah kelak terhampar
ladang dan sawah
Sebelum
melipat selimut, sebelum menghirup kopi
Kelak
pada suatu pagi yang dikeramatkan
Kita
akan sama-sama menyingkap gorden jendela
Lalu
tak terasa mata kita sudah sehijau daun melinjo
Tetapi kini lupakanlah, lipat
rapi dalam batin yang pedih
Sebab langit telah
menggisik-gisikkan matanya
Berdarah karena duka pertikaian
di bumi
Mari mengubah arah
Impian nyatanya lebih tajam dari
tepi-tepi ilalang
Dan kita telah sama-sama
tersayat
Lupakanlah,
biar semua menguap ke langit
Bersama sisa tangis dan doa-doa tersendat
Dan
bila kutuliskan kenangan ini, yakinkan hatimu
Memang
telah sempurna dan lengkap luka kita
Dan
kelak orang tak perlu lagi bertanya kenapa